Data muram terkait pendidikan tak bisa dielakkan lagi. Saat ini, rata-rata lama sekolah menurun dari 7,9 menjadi 7,6 tahun. Angka putus sekolah juga meningkat, menyentuh angka 24 juta siswa. Data ini masih di samping proses pembelajaran yang benar-benar terganggu.


Mendikbud Nadiem Makarim sebelumnya sudah mengingatkan bahwa siswa tak perlu dipaksa mengejar tuntutan di masa normal. Kurikulum nasional pun sudah disederhanakan. Nah, jika keinginan Mendikbud agar siswa tak dipaksa dan kurikulum disederhanakan bisa disebut sebagai target minimum, sayangnya, target itu pun rupanya masih jauh dari harapan.

Pemerintah memang sudah memberi berbagai stimulus agar pembelajaran dapat berlangsung dan target minimum bisa dicapai. Relaksasi penggunaan dana BOS, misalnya, dilakukan. Kuota belajar diberikan, dan saluran televisi serta radio pun dimanfaatkan. Tetapi, tetap saja pembelajaran terganggu. Soalnya, guru tak bisa mengawasi siswa dari jauh dan orangtua pun tak sepenuhnya bisa dituntut mendampingi anaknya.

Malah yang kemudian riuh terdengar adalah bahwa guru terlalu banyak memberikan tugas sehingga siswa terbeban dalam pembelajarannya. Tidak hanya siswa, orangtua pun dikabarkan mengeluh sehingga kadang terjadi kekerasan dalam rumah tangga, bahkan ada yang sampai berujung pada kematian siswa.

Masalah ini sekilas sudah teramat berat. Tetapi, segenap masalah itu masih milik siswa di perkotaan. Masalah siswa di perdesaan justru jauh lebih pahit. Berbagai terobosan pemerintah nyata-nyata tak berdampak. Kuota belajar, misalnya, sia-sia belaka karena ketiadaan jaringan, bahkan gawai. Relaksasi penggunaan dana BOS pun tidak berpengaruh lantaran puncak kreativitas sekolah agaknya hanya berhenti pada bagi-bagi masker.


sumber