Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud)
Nadiem Makarim mengizinkan sekolah tatap muka mulai Januari 2021, asal memenuhi syarat yang ditentukan. Ia menyebut penentuan izin sekolah tatap muka nantinya tak lagi berdasarkan zona risiko Covid-19 tetapi kewenangan dari pemerintah daerah, Kantor Wilayah (Kanwil) dan Kementerian Agama.
"Pemerintah pada hari ini melakukan menyesuaikan kebijakan untuk memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah, Kanwil atau Kemenag menentukan pemberian izin tatap muka untuk sekolah-sekolah di bawah kewenangannya. Kebijakan ini berlaku Januari 2021," ujarnya dalam konferensi digital seperti dikutip dari kanal YouTube Kemendikbud, Jumat (20/11/2023).
Nadiem menambahkan untuk pembukaan sekolah atau tatap muka perlu mendapat izin dari tiga pihak. Yakni Pemerintah Daerah, kepala Sekolah, dan orang tua murid melalui komite sekolah.
"Jika tiga pihak ini tidak mengizinkan sekolah itu buka, sekolah itu tidak diperkenankan dibuka. Kalau tiga pihak setuju, sekolah boleh laksanakan tatap muka," terang Nadiem Makarim.
"Kalau sekolah dibuka, orang tua masih bisa membuat keputusan untuk tidak mengizinkan anak tak sekolah tatap muka. Jadi hak terakhir ada di orang tua. Sekolah tatap muka diperbolehkan, tidak diwajibkan."
Nadiem menambahkan jika sekolah mau melakukan tatap muka harus memenuhi persyaratan yang ketat seperti kesiapan melakukan protokol kesehatan dan kesiapan sistem kesehatan lainnya.
Lebih lanjut Ia mengatakan, ada banyak dampak negatif yang bisa terjadi pada anak jika terlalu lama di rumah dan pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau belajar online. Oleh karenanya, ia berencana untuk memberikan izin sekolah tatap muka mulai awal tahun depan.
"Semakin lama pembelajaran tatap muka tidak terjadi, maka semakin besar dampak negatif yang terjadi pada anak," ujarnya.
Nadiem menjelaskan, setidaknya ada tiga dampak negatif yang bisa terjadi dengan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) seperti saat ini. Mulai dari putus sekolah, kendala tumbuh kembang hingga tekanan psikologis.
1. Ancaman putus sekolah.
Untuk dampak ini bisa terjadi karena dua faktor. Pertama, anak terpaksa bekerja untuk membantu keuangan keluarga yang tertekan akibat krisis pandemi Covid-19.
Kedua, persepsi orang tua yang berubah. Dimana orang tua melihat bahwa sudah tidak ada peranan sekolah dalam proses belajar mengajar apabila proses pembelajaran tidak dilakukan secara tatap muka.
2. Kendala tumbuh kembang.
Untuk dampak ini bisa terjadi karena tiga faktor. Pertama, Kesenjangan capaian belajar, di mana terdapat perbedaan akses dan kualitas selama PJJ yang dapat mengakibatkan kesenjangan capaian belajar terutama untuk anak dari sosio-ekonomi berbeda.
Kedua, ketidakoptimalan pertumbuhan. Dalam hal ini bisa menyebabkan turunnya keikutsertaan dalam PAUD sehingga kehilangan tumbuh kembang yang optimal di usia emas.
Ketiga, risiko 'learning loss". Dimana, hilangnya pembelajaran secara berkepanjangan berisiko terhadap pembelajaran jangka panjang baik kognitif maupun perkembangan karakter.
3. Tekanan psikososial dan kekerasan dalam rumah tangga.
Dampak ini bisa terjadi disebabkan oleh dua faktor yakni anak stres dan kekerasan yang tidak terdeteksi.
Anak stres disebabkan oleh minimnya interaksi dengan guru, teman dan lingkungan luar ditambah tekanan akibat sulitnya PJJ. Sedangkan kekerasan yang tidak terdeteksi disebabkan oleh pelajaran di rumah tanpa diawasi oleh guru sehingga anak terjebak mendapatkan kekerasan dari orang tua.