Pengamat Pendidikan Doni Koesoema menuturkan bahwa paham radikalisme dan intoleran di antara siswa bukan lahir dari sekolah. Menurutnya, hal itu terjadi dari lingkungan sekitar siswa.
Oleh karenanya, dia meminta agar sekolah dapat membentuk ekstrakurikuler keagamaan secara mandiri. Dengan begitu, para siswa pun tidak dipengaruhi oleh paham keagamaan dari luar sekolah.
“Bapak dan ibu guru ada yang tidak pede anak-anak itu mengikuti kegiatan keagaaman yang dikelola sendiri. Maka, mereka meminta anak untuk ikut kegiatan keagaman yang di luar lingkungannya. Ternyata anak-anak ini malah gabung dengan kelompok yang mengarah ke radikalisme,” terangnya dalam diskusi daring, Selasa (29/12).
Kata dia, penemuan itu ia dapatkan berdasarkan hasil penelitian berbagau pihak. Sebab, kegiatan ekstrakulikuler di luar pihak sekolah malah mengajak pelajar untuk memahami hal-hal yang berbau radikal.
“Karena dari penelitian ada kegiatan ekskul yang menjerumuskan anak ke kelompok-kelompok radikalisme dan ini terjadi di Jawa Barat,” imbuh dia.
Sekolah harus mampu untuk mewadahi kegiatan para siswa secara mandiri. Untuk kemudian kegiatan ektrakurikuler tersebut dapat diawasi dan menghentikan paham radikal yang berasal dari luar.
“Kegiatan ekskul itu perlu kita awasi menjadi sebuah sistem yang menumbuhkan nilai-nilai prinsip penyelenggaran pendidikan,” ujarnya.
Selain itu, ia juga berharap para sekolah dapat menggali para orang tua yanh memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi. Mereka, kata Doni bisa dilibatkan ke dalam kegiatan dan komite sekolah.
“Tentu saja peranan orang tua ini menjadi tantangan perspektif keragaman dan kebangsaan orang tua itu akan kita gunakan sebagai bentuk proses pembentukan karakter,” pungkasnya.
sumber