Pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim terkait dengan peraturan wajib jilbab di SMKN 2 Padang, Sumatera Barat termasuk bagi siswi non muslim mendapat reaksi miring dari dunia pendidikan. Sebab, dianggap memiliki nada ancaman.

“Saya meminta pemerintah daerah sesuai dengan mekanisme yang berlaku segera memberikan sanksi yang tegas atas pelanggaran disiplin bagi seluruh pihak yang terbukti terlibat termasuk kemungkinan menerapkan pembebasan jabatan,” ungkap dia beberapa waktu lalu.

Kepala sekolah dan guru asal NTB, Mochamad Fatkoer Rohman sebagai kawan seprofesi menilai perkataan itu sangat tidak bijak. Pasalnya, meminta pihak yang terlibat dibebastugaskan tanpa diselidiki secara mendalam kasus tersebut, itu tidak adil.

“Menginstruksikan kepala sekolah dipecat, tanpa menyelidiki dulu secara mendalam dan menyeluruh. Apa betul itu peraturan sekolah? Atau aturan Pemda? Apa betul ada pemaksaan? Saya sendiri menentang apa pun bentuk pemaksaan. Tapi kan harus diselidiki dulu secara mendalam dan menyeluruh. Lagian kalau kepala sekolah dipecat itu wewenang daerah, bukan wewenang Kementerian,” tulisnya di laman Facebook-nya Fatur (Moch Fatkoer Rohman).

Hal senada juga disampaikan Pengamat dan Praktisi Pendidikan Indra Charismiadji, ia menyampaikan bahwa pernyataan Mendikbud tersebut sama persis kondisinya dengan aturan kewajiban berhijab di Padang itu sendiri atau kurang bijaksana.

Baca Juga: Banyak Pemula Kejeblos Main Saham, DPR Minta BEI dan OJK Rajin Edukasi

Baca Juga Diantarkan Para Senior dan Juniornya, Listyo: Ini Bukti Polri Solid

Baca Juga: Jadi Calon Tunggal Kapolri, Komjen Listyo Pilih Tak Banyak Bicara

Sebab, aturan mengenakan jilbab itu sendiri tujuannya baik, tapi sangat tidak bijaksana untuk mewajibkan bagi seluruh siswi, termasuk non muslim sangatlah tidak bijak dan bahkan melanggar hak asasi manusia.

“Jika Mendikbud meminta para pendidik di SMKN 2 Padang dibebastugaskan karena mereka mengikuti aturan kepala daerah, sangatlah juga tidak bijak. Ini menyangkut nasib dan karir seseorang,” ungkap dia dalam keterangan tertulisnya kepada JawaPos.com, Selasa (26/1).

Ia menilai ketidakbijaksanaan itu karena Nadiem belum memahami kondisi dunia pendidikan Indonesia. Bahkan, Nadiem menurutnya di tengah pandemi ini benar-benar menerapkan protokol kesehatan 3M, namun dalam arti lain, bukan pada virus melainkan pemangku kepentingan pendidikan Indonesia.

“Beliau menjaga jarak dari para guru, kepala sekolah, dan insan pendidikan. Beliau memilih untuk menggunakan masker besi sehingga tidak ada percakapan, dialog, diskusi dengan pemangku kepentingan pendidikan. “Beliau juga lebih banyak mencuci tangan untuk masalah-masalah pendidikan yang ada di tanah air. Ini protokol kesehatan yang kebablasan,” imbuh pria berkacamata tersebut.

Dalam kasus SMKN 2 Padang ini, jika Mendikbud tidak menjaga jarak, maka beliau seharusnya tahu bahwa para pendidik ini hanya menjalankan Instruksi Wali Kota Padang nomor 451.442/BINSOS-iii/2005 dan telah berjalan selama 15 tahun. Ini bukan sepenuhnya kesalahan para pendidik yang menjalankan instruksi pemimpinnya yaitu Kepala Daerah.

Alih-alih melindungi para pendidik, Mendikbud justru memilih untuk mendorong adanya sanksi yang berat. Komunikasi yang selama ini dilakukan oleh Mendikbud harus diakui memang sangat buruk.

“Mungkin beliau lupa kalau posisinya adalah seorang pejabat publik yang harusnya memberikan informasi kepada publik sejelas-jelasnya tanpa menggunakan masker besi,” tegasnya.

Dalam kasus ini membuktikan kalau tidak ada keinginan dari Mendikbud untuk berdialog, menyelidiki dulu secara mendalam, tetapi memilih untuk menjadi hakim.

“Suatu hal yang ironis, karena pendidikan baru dapat berjalan dengan baik jika ada dialog, ada percakapan satu dengan yang lainnya,” pungkasnya.

sumber

Homeschooling - Bimbel Les Privat - UTBK Kedokteran PTN - Kuliah Online - PKBM ✅